Kamis, 30 Juli 2009

Longser dan Kesenian Jawa Barat

Di Jawa Barat terdapat beragam kebudayaan Sunda. Menurut Dana Setia yang pernah menjabat Kepala Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat, sedikitnya terdapat 300 jenis kesenian yang pernah hidup di masyarakat. Seiring perkembangan sosial masyarakat Sunda, terutama sejak masuknya beragam budaya lain, kesenian tersebut mulai berguguran, bahkan sudah ada yang hilang sama sekali. Banyak faktor, baik internal maupun eksternal, yang menyebabkan hilangnya kesenian tersebut. Terbukanya kehidupan masyarakat dengan dunia luar yang dicirikan dengan kemajuan dalam bidang transportasi dan komunikasi seperti internet, telah menjadikan dunia tanpa batas budaya. Budaya global yang mampu menggerus kelokalan yang dimiliki setiap etnik, di manapun. Berbagai nilai baru pun merembessampai ke daerah-daerah terpencil. Padahal semua tahu, bahwa tidak semua nilai baru tersebut bersifat positif. Kalaulah masyarakat tidak mempunyai filteryang kuat, maka nilai-nilai baru yang bersifat negatif tersebut tentunya dapat memporakporandakan nilai-nilai lama yang positif dan telah ada. Oleh karena itu apabila disebutkan bahwa pedokumentasian, pengembangan dan pembinaan kesenian, salah satunya bertujuan untuk melestarikan nilai budaya bangsa, maka dalam bentuk yang lain, kesenian dapat dijadikan sebagai alat ketahanan budaya (Deskripsi Kesenian Jawa Barat, Dibudpar & PDP).

Berdasarkan catatan terbaru dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, saat ini terdapat sekitar 34 jenis kesenian yang masih terpelihara dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Di antaranya, terdapat kesenian Longsér, sebuah teater rakyat yang hidup dan berkembang di Bandung.

Selain Longsér, di Jawa Barat pun terdapat beberapa jenis teater tradisional lainnya, seperti Uyeg dari Sukabumi, Ubrug dari Banten, Matres dari Cirebon, Tarling dari Cirebon, Topeng Banjet dari Karawang, dan sebagainya. Tiap-tiap jenis kesenian tersebut mempunyai ciri tersendiri, baik dari cara pementasan maupun peralatan yang digunakan.

Salah satu adegan dalam pertujukan longser.

Jika dibandingkan dengan daerah lain, Longsér mempunyai kemiripan dengan Lenong dan Srimulat. Perbedaannya, sampai saat ini Longsér menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi dengan penonton. Salah satu ciri khasnya adalah dengan hadirnya Ronggéng, penari merangkap penyanyi yang mampu menarik perhatian penonton. Ronggéng biasa menari dengan iringan lagu-lagu Sunda jenis ketuk tilu.

Longsér dan Perkembangannya
Belum ada catatan yang akurat, sejak kapan sebenarnya Longsér menjadi bagian dari kesenian di Tatar Sunda. Bahkan kata Longsér tidak menpunyai definisi yang jelas. Ada yang menggangap bahwa kata Longsér kependekan dari “long” (melihat, memandang) dan “ser” (kata untuk menunjukkan suatu hasrat atau gairah seksual). Namun anggapan tersebut bukanlah satu-satunya definisi yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya.

Bentuk pergelaran Longsér, seperti halnya Lenong Betawi, dibangun dari beberapa bagian penting yang menjadi ciri khas kesenian tersebut. Sebuah pergelaran Longsér biasanya dilengkapi oleh nayaga (penabuh musik), pemain, bodor (pelawak), dan ronggéng (penari merangkap penyanyi) yang berfungsi daya tarik tersendiri bagi penonton. Pada saat pementasan, para pemain membangun cerita untuk disuguhkan kepada penonton. Pada mulanya, cerita dalam Longsér disusun sesaat sebelum permainan dimulai. Artinya, tanpa skenario yang jelas, sehingga kadang-kadang isi cerita menjadi kurang fokus dan lebih cenderung humoristik.

Sebagai teater rakyat, Longsér dipentaskan di tengah-tengah penonton. Bahkan, pada awal perkembangannya, Longsér hampir tidak pernah dipentaskan di sebuah panggung yang ditata sedemikan rupa. Di mana terdapat penonton, di sana Longsér digelar; apakah tempat ini alun-alun, terminal, stasiun, atau bahkan di pinggir jalan.

Menelusuri sejarah Longsér, tidak akan terlepas dari nama Bang Tilil (nama aslinya Akil), yang dikenal sebagai tokoh Longsér. Dalam kurun waktu 1920-1960, Longsér Bang Tilil mencapai puncak kejayaannya. Longsér Bang Tilil hadir sebagai media hiburan rakyat yang komunikatif. Ketenaran Longsér Bang Tilil, telah memicu seniman lainnya untuk mendirikan grup tersendiri; di antaranya Longsér Bang Soang, Bang Timbel, Bang Cineur, Bang Kayu, dan sebagainya. Selain Longsér Bang Tilil, salah satu kelompok Longsér yang cukup terkenal adalah Longsér Pancawarna yang dipimpin oleh Aténg Japar (pernah berguru kepada Bang Tilil). Pancawarna didirikan tahun 1939, dan masih eksis sampai sekarang walaupun produktifitasnya menurun.

Terdapat pembagian wilayah pertunjukan antara Bang Tilil dengan Ateng Japar. Bang Tilil menguasai wilayah pertunjukan kota Bandung (Stasiun, Alun-alun, Tegal Lega, Cicadas, Andir, Cikawao dan wilayah lain di kota Bandung). Sementara Longsér Ateng japar menguasai wilayah luar kota Bandung (Pangalengan, Cililin, Banjaran, Soreang, dan lain-lain). Akibat penjajahan Jepang, banyak seniman Longsér mengungsi. Praktis kegiatan berkesenian mereka surut sejak itu. Baru pada tahun 1952, ketika Ateng Japar kembali ke Bandung dari pengungsiannya di Garut, Longsér kembali mengisi ruang hiburan bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya.

Kesulitan kesenian Longsér untuk bertahan pun masih terus dialaminya. Ini disebabkan oleh kebijakan penataan tata ruang kota Bandung, termasuk pemekarannya. Akibatnya, beberapa genre seni pertunjukan rakyat yang pada saat itu menjadi bagian dari masyarakatnya juga mengalami kesulitan untuk hidup. Perlahan-lahan wilayah pertunjukan Longsér Bang Tilil pun menciut dan akhirnya surut. Apalagi setelah Bang Tilil meninggal, punahlah Longsér yang dipimpinnya.

Sementara itu, Longsér Ateng Japar tetap eksis berkeliling di wilayah pertunjukannya, walaupun tidak lagi seperti pada masa kejayaannya dahulu. Dewasa ini, Longsér Ateng japar tidak lagi memiliki wilayah pertunjukan yang pasti. Bahkan dari hari ke hari semakin surut, walaupun belum dapat dikatakan punah sama sekali. Longsér Ateng japar tidak lagi melakukan pertunjukan keliling, dan hanya memenuhi panggilan untuk menumbuhkan apresiasi para mahasiswa kesenian atau untuk hiburan bagi instansi yang menganggap Longsér masih layak dijadikan materi hiburan. Belakangan Longsér Ateng Japar mempreteli keutuhan pertunjukan dan bersedia memenuhi panggilan untuk hajatan. Longser itu hanya memiliki tarian jenis ketuk tilu dan jaipongan, dimainkan di sebuah panggung dengan perlengkapan bodor alakadarnya. Padahal, umumnya Longsér dimainkan di aréna terbuka, menyatu jeung penonton. Memang belakangan ini, Longsér sering dimainkan di sebuah panggung, baik di luar bangunan maupun di dalam gedung kesenian.

Namun menurut Wa Kabul, pemimpin Longsér Ringkang Gumiwang, persoalan tempat tergantung pada kondisi. Sah-sah saja Longsér dimainkan di atas panggung, seperti seni teater lainnya.

Awalnya Longsér memiliki waktu pertunjukkan tertentu, yaitu pada malam hari, antara pukul 20.00 sampai dan 22.00. Namun saat ini banyak juga seni Longsér yang dimainkan pada siang hari.

Longsér yang Komunikatif

Malam itu, pada bulan September 2001, arena lapangan parkir Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung disesaki penduduk. Masyarakat di sekitar kampus tersebut berbondong-bondong menyaksikan pertunjukkan yang jarang sekali digelar. Dengan tajuk Revitalisai Seni Tradisi, acara tersebut menampilkan seni Longsér setiap malam selama 9 hari, 10-18 Sepetember 2001. Para penonton cukup antusias menyaksikan acara tersebut. Pemainnya sebagian besar generasi muda. Mereka datang dari bebagai grup Longsér yang ada di Bandung dan sekitarnya.

Berbeda dengan Longsér Bang Tilil atau Aténg Japar, seni Longsér yang ditampilkan di STSI Bandung mengalami beberapa perubahan. Perubahan-perubahan tersebut, merupakan perkembangan dari Longsér itu sendiri, dan pada dasarnya masih berpijak pada tradisi terdahulu. Bahkan salahsatu grup Longsér sudah berani memodifikasi keutuhan Longsér, menggabungkannya dengan musik dan teater modern.

Kostum dan tema cerita memang berbeda, merupakan penyesuaian dengan keadaan sekarang. Menurut Wa Kabul, cerita dan bahasa yang digunakan pada Longsér hanyalah sebuah fungsi untuk disampaikan kepada penonton. Saat ini para pemain Longsér masih menggunakan bahasa Sunda yang komunikatif, walaupun pada beberapa pementasan ada juga yang menggunakan bahasa Indonesia.

Longsér dibangun oleh para pemain yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan pada Longsér Bang Tilil, para pemain Longsér banyak yang mempunyai “peran ganda”. Suatu saat ia harus menjadi nayaga (penabuh musik), tapi tiba-tiba ia bergabung dengan pemain lainnya dan ikut berakting.

Selain mengiringi jalannya pementasan, para nayaga pun bertugas untuk “tatalu” (menabuh gamelan) agar mengundang perhatian penonton. Sebelum acara dimulai, gamelan sudah ditabuh sambil menunggu para pemain mempersiapkan cerita yang akan disajikan.

Ronggéng

Ronggéng dikenal sebagai penari merangkap penyanyi pada seni Longsér. Banyak yang beranggapan miring pada tokoh yang satu ini, bahwa ronggéng adalah wanita perayu dengan tarian érotis sebagai pemikatnya. Anggapan tersebut membuat beberapa penari Longsér saat ini enggan disebut ronggéng.

Padahal ronggéng mempunyai peran yang sangat penting dalam seni Longsér. Ia mempunyai daya tarik tersendiri, dan akan terasa hambar jika Longsér tidak dilengkapi oleh ronggéng.

Setelah nayaga menabuh gamelan, dan penonton mulai datang, permainan pun dimulai. Ronggéng bertugas membuka pementasan dengan sebuah tarian. Dilengkapi Kostum dan tata rias yang cukup mencolok, ronggéng menari di tengah-tengah penonton dengan berbagai jenis nuansa gamelan. Beberapa gerakan tari, seperti “éplok céndol” (tarian dengan gerakan goyang pinggul yang cukup erotis), cukup membuat penonton terkesima. Nah, daya tarik inilah yang kemudian membuat para penonton enggan beranjak.

Selain ronggéng muda, dengan penampilan cantik dan menarik, juga ada ronggéng yang sudah berumur. Ronggéng yang satu ini biasanya menampilkan tarian kocak yang membuat penonton terbahak-bahak.

Dalam sebuah pementasan Longsér, ronggéng hadir beberapa kali. Apalagi banyak ronggéng yang ikut berakting dengan pemain lainnya. Beberapa grup Longsér mempunyai lebih dari satu rongéng. Mereka menari dan menyanyikan lagu-lagu Sunda silih berganti. Ronggéng pun berperan pada saat “ngarayuda” (meminta sumbangan alakadarnya kepada penonton sebagai imbalan pementasan). Ronggéng yang cukup terkenal adalah Si Kucrit dari grup Longséng Bang Tilil.

Bodor

Salahsatu ciri khas seni Longsér adalah dengan adanya bodor atau pelawak. Bodor hadir setelah ronggéng menampilkan tarian pembuka. Ia kemudian menari meniru ronggéng, dengan gerakan yang kocak dan mimik yang humoris. Bodor bertugas memperkenalkan grup Longsér yang sedang pentas, menggunakan bahasa yang komunikatif dan seringkali dibumbui dengan canda. Jika pementasan diadakan dalam sebuah kariaan, maka bodor pun mengungkapan maksud dan tujuan penyelenggara kariaan.

Setelah itu, bodor meminta menari bersama ronggéng. Nah, ketika itu, munculah bodor lain dan ikut menari. Kemudian secara katikatural mereka berebut ronggéng. Ronggéng kemudian meminta bayaran, dan karena bodor (pura-pura) tidak mempunyai uang, maka mereka “ngarayuda”, meminta sumbangan kepada penonton. Namun ada juga penonton yang spontan melemparkan uang ke arena pentas dengan menggunakan saputangan atawa kain karémbong.

Setelah itu bodor pun mulai berdialog dengan mengangkat sebuah téma yang telah dipersiapkan. Umumnya, tema yang diangkat adalah kehidupan sederhana masyarakat Sunda. Beberapa pemain (selain bodor) menampilkan berbagai peran, dari ketua RT sampai orang kaya yang kikir.

Dialog

Cerita dalam Longsér umumnya spontanitas, dan naskah, atau bahkan merupakan pengulangan cerita lain yang pernah dipentaskan. Tema cerita pun bagian dari kehidupan sehari-hari, umpamanya tentang “bobogohan” (kisah cinta) antara orang miskin dengan orang kaya. Kisah sederhana ini, sering dilengkapi oleh konflik yang lucu, dan selalu diakhiri dengan happy ending. Kadang-kadang, cerita pun tidak selesai dipentaskan berhubung keadaan alam, misalnya turun hujan, atau karena sudah tidak ada penonton.

Belakangan ini, cerita pada Longsér dipersiapkan dengan naskah skenario. Tetapi unsur spontanitas serta komunikasi dengan penonton masih dipertahankan.

Longsér dan Peralatan SederhanaLongsér adalah jenis kesenian yang sangat merakyat. Berbagai unsur seni bergabung dalam Longsér, mulai dari seni akting, seni musik, dan seni tari. Peralatan yang digunakan untuk pementasan pun cukup sederhana.

Kostum misalnya, tidak menggunakan kostum husus, namun menggunakan pakaian sehar-hari. Dari mulai datang hingga pementasan, tidak pernah berganti pakaian (kecuali ronggéng). Tidak seperti sekarang, kostum Longsér telah dipersiapkan, sesuai dengan tokoh yang akan diperankan.

Ronggéng misalnya, hanya mengenakan kebaya dan samping dengan motif batik. Tata riasnya pun sederhana, walaupun cukup “menor” (mencolok). Pada perkembangan selanjutnya, busana ronggéng diseragamkan. Sedangkan busana bodor dan pemain lainnya berupa baju kampret, celana sontog, kain sarung, kopiah atau ikat kepala.

Begitu juga peralatan lainnya, menggunakan barang-barang yang ada di sekitar pementasan. Ketika sebuah cerita memerlukan peralatan kursi misalnya, maka gendang pun dapat difungsikan sebagai kursi.

Ketika Longsér dipentaskan di aréna terbuka, penataan “panggung” dilaksanakan sesaat sebelum acara dimulain. Artinya tidak ada persiapan yang panjang seperti layaknya sebuah pementasan teater. Mengacu pada Longsér Bang Tilil, yang dipentaskan pada tahun 1950-an, para pemain dan nayaga datang pada soré hari, sekitar pukul empat. Mereka datang dengan menggunakan béca sebagai sarana pengangkut peralatan. Ada juga grup Longsér yang tidak dilengkapi dengan kendaraan. Mereka datang sambil memikul peralatan, dan disimpan di mana longsér akan digelar, misalnya di stasiun. Hal ini untuk mengundang perhatian penonton, sebagai pertanda bahwa pada malam itu akan dilaksanakan pertunjukan Longsér.

Adapun jenis peralatannya adalah gamelan (musik pengiring); gendang, rebab, saron, bonang, panerus, goong dan kecrek. Peralatan lainnya adalah lampu penerang, bisa berupa patromak atau oncor/obor (sejenis). Sampai saat ini, beberapa grup Longsér masih menggunakan obor, walaupun hanya sebagai simbol karena penerangan sudah memakai listrik. Sebagai pengeras suara, mereka menggunakan spiker dan accu.

Perbatasan antara pemain dan penonton hanyalah menggunakan sebuah garis putih, berupa serbuk kapur yang ditaburkan membentuk lingkaran.

Longsér dan Masa Depannya
Sesuai dengan perkembangannya, saat ini Longsér telah mengalami perubahan. Hal ini merupakan bentuk kreatifitas untuk mengolah seni tradisi agar sesuai dengan kekinian. Tempat pertunjukan, misalnya, saat ini sudah jarang menggunakan arena terbuka, tetapi lebih cenderung di gedung kesenian. Kalaupun di arena terbuka, maka dibangun sebuah panggung dan dipersiapkan beberapa hari segelumnya.

Tema cerita pun mengalami modifikasi, bahkan sudah difokuskan pada suatu kisah yang mengalir dari awal sampai akhir. Modifikasi seni Longsér, seperti seni-seni lainnya, merupakan bentuk perkembangan seni itu sendiri. Hal yang terpenting adalah tidak menghilang bagian yang menjadi ciri seni tersebut.

Seperti seni tradisi lainnya, Longsér pun mengalami pasang-surut. Saat ini, sebagaimana perkembangan sosial di masyarakat yang mengarah kepada kehidupan modern, orang-orang sudah banyak enggan untuk menonton pertunjukan Longsér. Bahkan jenis kesenian Longsér pun banyak yang tidak mengetahuinya, apalagi generasi muda. Fenomena ini ditandai dengan matinya beberapa grup Longsér karena sudah memiliki penonton. Kalaupun Longsér dipertunjukkan, hanya pada acara husus, bukan berdasarkan tuntutan masyarakat untuk mendapat sarana hiburan. Padahal Longsér mempunyai fungsi sosial yang mengetengahkan gambaran kehidupan masyarakat di setiap jaman.

Upaya pelestarian pun terus dilakukan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Barat yang berkewajiban melestarikan seni tradisi telah melakukan pembenahan, agar warisan leluhur ini tidak sampai punah. Misalnya, dengan menampilkan Longsér di gedung-gedung kesenian, atau bahkan di layar kaca seperti TVRI Bandung. Disbudpar pun telah memprioritaskan seni ini sebagai salah satu aset pariwisata di Jawa Barat.

Regenerasi pun merupakan bagian terpenting dalam upaya pelestarian. Ada kecenderungan bahwa surutnya Longsér karena materinya tidak dapat menarik perhatian generasi muda.

Sekolah seni pun, seperti STSI, mempunyai tugas yang sama. Bahkan beberapa mahasiswa STSI membentuk grup Longsér Antar Pulau yang tumbuh dan berkembang sebagai teater rakyat kota. Generasi muda lainnya, seperti Dhipa Galuh Purba, membentuk grup Longsér Damar Citraloka yang anggotanya didominan para remaja.

Namun grup-grup tersebut belum dapat memotifasi generasi muda lainnya untuk ikut mengembangkan seni Longsér. Keadaannya kini cukup memprihatikan, karena pertujukan Longsér tidak lagi menjadi kegiatan yang rutin, hanya pada acara-acara tertentu. Memandang masa depan, mengarah pada perkembangan yang lebih baik, memerlukan peran serta dari berbagai pihak. Apalagi, di Jawa Barat, bukan hanya Longsér yang memerlukan perhatian untuk diselamatkan dari kepunahan.


DALUANG.com

Wayang Golek

Wayang

Wayang mangrupakeun bentuk téater rahayat nu populér pisan. Masarakat mindeng ngahubungkeun kecap "wayang" jeung "bayang", dumasar pintonan wayang kulit nu mintonkeun hirupna bayangan/kalangkang wayang dina layar. Di wewengkon Tatar Sunda, nu pangpopulérna mah wayang golék.

Wayang golék aya dua rupa: wayang golék papak (cepak) jeung wayang golék purwa. Iwal ti wayang wong, pintonan wayang dimaénkeun ku dalang nu mingpin pintonan sakaligus ngalagukeun suluk, nyoarakeun antawacana, ngatur gamelan, ngatur lagu, jsb.

Tumuwuh

Sakumaha alur carita pawayangan umumna, dina pintonan wayang golék ogé biasana boga lalakon-lalakon anu boh galur atawa caranganana dicokot tina carita Ramayana jeung Mahabarata kalawan migunakeun basa Sunda nu diiring ku gamelan Sunda (saléndro), nu diwangun ku dua saron, peking, selentem, bonang, bonang rincik, kenong, sapasang goong (kempul jeung goong), ditambah kendang (hiji kendang Indung jeung tilu kulanter), gambang jeung rebab.

Karakter wayang golék Arjuna, anggota Pandawa, tokoh pawayangan nu kawentar ku kagandanganana.

Ti taun 1920-an, salila pintonan wayang golék téh teu weléh dibarengan sindén. Malah harita mah sindénna bisa leuwih kawentar batan dalangna, utamana nalika jaman Upit Sarimanah jeung Titim Patimah taun 1960-an.

Dina pintonan wayang golék, lalakon nu ilahar dipintonkeun nyaéta lalakon carangan, lalakon galur mat teu pati mindeng. Ieu bisa dijadikeun cicirén kaparigelan dalang dina nyiptakeun lalakon carangan nu alus tur matak dipikaresep. Dalang wayang golék nu kawentar di antarana Tarkim, R.U. Partasuanda, Abéng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asép Sunandar Sunarya, Cécép Supriadi, jld.

Pola pangadegan wayang golék nyaéta (1) Tatalu, dalang jeung sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawén, jeung biantara; (2) Babak unjal, paséban, jeung bébégalan; (3) Nagara séjén; (4) Patepah; (5) Perang gagal; (6) Panakawan/goro-goro; (7) Perang kembang; (8) Perang raket; jeung (9) Tutug.

Najan mibanda fungsi rélijius (misalna dina ngaruwat), wayang golék kiwari leuwih dominan dipaké salaku seni pintonan hiburan rahayat nu mibanda fungsi nu luyu jeung pangabutuh lingkungan masarakat, boh spiritual atawa materil. Hal ieu bisa ditempo dina sababaraha kagiatan masarakat nu diramékeun ku pintonan wayang golék, di antarana hajat/kariaan nyunatan, nikahan, jsb.

Média nyebarkeun Islam

Numutkeun dugaan, sakumaha wayang kulit di wewengkon wétan (Jawa), wayang golék dipaké ku para wali pikeun nyebarkeun Islam di Tatar Sunda. Kusabab ajaran Hindu harita geus raket jeung masarakat Sunda harita, carita Mahabarata jeung Ramayana ti Tatar Hindu dimodifikasi pikeun ngajarkeun Katauhidan. Misalna dina carita Mahabarata, para déwa boga kawenangan nu absolut pikeun nangtukeun nasib jeung takdir, mangka para wali nyieun objék anyar nu posisina leuwih kuat, nyaéta Semar.


WIKIPEDIA.com

Jaipongan

Jaipongan nyaeta hiji wanda seni tari nu lahir tina kreativitas seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannana kana kasenian rahayat nu salasahijina nyaeta ketuk tilu nyababkeun anjeunna wanoh bener-bener kana perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi nu aya dina kiliningan/bajidoran atawa ketuk tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun jeung sababaraha ragem gerak mincid tina sababaraha kasenian di luhur cukup miboga inspirasi keur ngamekarkeun tari atawa kasenian nu kiwari dipikawanoh minangka jaipongan. Kiwari jaipongan sering dipake keur hiburan dina acara kawinan jeung sunatan, utamana di daerah Subang jeung Karawang.

Sajarah

Samemeh wangun seni pertunjukan ieu mucunghul, aya sababaraha pangaruh nu ngasangtukangan wangun tari pergaulan ieu. Di Jawa Barat misalna, tari pergaulan mangrupakeun pangaruh tina Ball Room, nu biasana dina pintonan tari-tari pergaulan teu leupas tina ayana ronggéng jeung pamogoran. Ronggéng dina tari pergaulan henteu ukur fungsi keur kagiatan upacara, tapi keur hiburan atawa cara gaul. Ayana ronggeng dina seni pintonan mibanad daya tarik nu ngondang simpati kaum pamogoran. Misalna dina tari Ketuk Tilu nu kacida dipikawanohna ku masarakat Sunda, diperkirakeun kasenian ieu kasohor sakitar taun 1916. Minangka seni pintonan rahayat, kasenian ieu ukur dirojong ku unsur-unsur basajan, saperti waditra nu ngawengku rebab, kendang, dua siki kulanter, tilu siki ketuk, jeung goong. Pon nya kitu deui gerak-gerak tarina nu henteu mibanda pola gerak nu baku, kostum penari nu basajan minangka lambang karahayatan.

Marengan mudarna jenis kasenian di luhur, urut pamogoran (panongton nu aktif aktif dina seni pintonan Ketuk Tilu/Dogér/Tayub) pindah perhatiannana kana seni pintonan Kiliningan, nu aya di daerah basisir kaler Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, jeung Subang) katelah Kiliningan Bajidoran nu pola tarina jeung pintonannana mibanda sasaruaan jeung kasenian samemehna (Ketuk Tilu/Dogér/Tayub). Ayana tarian dina Topeng Banjet cukup dipikaresep, hususna di Karawang, nu sababaraha pola gerak bajidoran dicokot tina tarian dina Topeng Banjet ieu. Sacara koreografis tarian ieu masih mintonkeun pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) nu ngandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun jeung sababaraha ragem gerak mincid nu jadi dasar ciptana tari Jaipongan. Sababaraha gerak-gerak dasar tari Jaipongan lian ti Ketuk Tilu, Ibing Bajidor sarta Topeng Banjet nyaeta Tayuban jeung Pencak Silat.

Mucunghulna tarian karya Gugum Gumbira awalna disebut Ketuk Tilu kamekaran, nu memang sabab dasar tarian eta mangrupakeun kamekaran tina Ketuk Tilu. Karya munggaran Gugum Gumbira kacida kentelna keneh ku kelir ibing Ketuk Tilu, boh tina segi koreografi atawa iringannana, nu satuluyna tarian ieu jadi populer kalayan sebutan Jaipongan.

Kamekaran

Karya jaipongan munggaran nu dipikawanoh ku masarakat nyaeta tari "Daun Pulus Késér Bojong" jeung "Réndéng Bojong" nu duanana mangrupakeun jenis tari awewe jeung tari papasangan (lalaki jeung awewe). Tina tarian ieu mucunghul sababaraha ngaran penari jaipongan nu parigel saperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, jeung Pepen Dedi Kurniadi. Awal mucunghulna ibing ieu kungsi jadi wangkongan, nu isu sentralna nyaeta gerakan nu erotis tur vulgar. Tapi ku ayana ekspos sababaraha media citak, ngaran Gugum Gumbira mulai dipikawanoh ku masarakat, komo deui sanggeus tari Jaipongan dina taun 1980 dipintonkeun dina TVRI stasion puseur Jakarta. Balukar tina kasohoran ieu nyaeta beuki ningkatna, boh di media televisi, hajatan atawa kariaan nu diayakeun ku swasta jeung pamarentah.

Hadirna Jaipongan mikeun kontribusi anu cukup badag ka para seniman tari pikeun leuwih aktip deui ngadongkar jenis tarian rahayat anu saméméhna kurang perhatian. Tari Jaipongan dimangpaatkeun ku para seniman tari pikeun ngayakeun kursus-kursus tari Jaipongan, dimangpaatkeun ogé ku pangusaha pub-pub peuting pikeun metot sémah, di mana perkembangan kasempetan usaha sarupa kieu dijieun ku para seniman tari minangka usaha pemberdayaan ékonomi ngaliwatan ngaran Sanggar Tari atawa grup-grup di sawatara wewengkon di Jawa Kulon, contona di Subang jeung Jaipongan gaya "kaléran" (kalér).

Ciri Jaipongan gaya kaléran, nyaéta marahmay, érotis, humoris, pinuh sumanget, spontan, sarta basajan (alami, naon ayana). Hal éta kaeunteung dina pola tari dina pintonanana, aya anu dibéré pola (Ibing Pola) kawas dina seni Jaipongan anu aya di Bandung, ogé aya ogé tarian anu henteu dipola (Ibing Saka), contona dina seni Jaipongan Subang sarta Karawang. Istilah ieu bisa dipanggihan dina Jaipongan gaya kaléran, utamana di wewengkon Subang. Dina pintonanana, Jaipongan gaya kaléran ieu nyaéta: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Bubuka (Ibing Pola), biasana dipintonkeun ku penari tunggal atawa Sinden Tatandakan (saurang sinden tapi henteu bisa ngawih nanging ngalagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan sarta Jabanan, mangrupa bagian pintonan sabot para panongton (bajidor) sawér duit (jabanan) bari salam témpél. Istilah jeblokan diartikeun minangka pasangan anu tumetep antara sinden sarta panongton (bajidor).

Perkembangan saterusna tari Jaipongan lumangsung dina taun 1980-1990-an, nalika Gugum Gumbira nyiptakeun tari séjénna kawas Toka-toka, Sétra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan sarta tari Kawung Anten. Tina tarian-tarian kasebut mecenghul sawatara penari Jaipongan anu jago contona Iceu Effendi, Yumiati Teuneung, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata sarta Asep.

Kiwari tari Jaipongan kaci disebut salah sahiji idéntitas kesenian Jawa Kulon, hal ieu kasampak dina sawatara acara-acara penting anu patali jeung sémah ti nagara deungeun anu datang ka Jawa Kulon, mangka dipapag ku pintonan tari Jaipongan. Kitu ogé nalika aya misi-misi kasenian ka manca nagara sok dilengkepan ku tari Jaipongan. Tari Jaipongan réa mangaruhan kasenian-kasenian balaréa séjén anu aya di Jawa Kulon, boh dina seni pintonan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, sarta ampir kabéh pintonan rahayat boh dina musik dangdut modern anu dikolaborasikeun jeung Jaipong jadi kasenian Pong-dut. Jaipongan anu dimimitian ku Mr. Nur & Leni.


WIKIPEDIA.com

Calung

Calung nyaéta pakakas musik Sunda anu mangrupa prototipe ti angklung. Béda jeung angklung, cara maénkeun calung mah ku cara nakol (wilahan, bilah) awi anu disusun nurutkeun titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis awi pikeun nyieun calung lolobana tina awi wulung (awi hideung), tapi aya ogé anu dijieun ti awi temen (awi pulas bodas).

Sajaba dihartikeun salaku pakakas musik, calung ogé jadi istilah sebutan pikeun seni pintonan. Aya dua wangun calung Sunda anu dipikawanoh, nyaéta calung rantay sarta calung jinjing.

Kamekaran

Jenis calung anu ayeuna mekar sarta dipikawanoh sacara umum nyaéta calung jinjing. Calung jinjing nyaéta jenis pakakas musik anu geus lila dipikawanoh ku urang Sunda, contona di wewengkon Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, sarta bisa jadi mangrupa kamekaran ti wangun calung rantay.

Di Jawa Barat, wangun kasenian ieu dirintis popularitasnya nalika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) anu kagabung dina Departemen Kesenian Déwan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mekarkeun wangun calung ieu ngaliwatan kreativitasnya dina taun 1961. Numutkeun salah saurang panaratasna, Ekik Barkah, yén dijieunna calung jinjing katut pintonanana kailhaman ku wangun kaulinan dina pintonan réog anu ngadumaniskeun unsur nakol, unggut sarta lagu dina hiji pintonan.

Saterusna dina taun 1963 wangun kaulinan sarta tabuhan calung leuwih dimekarkeun deui ku parakanca ti Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), sarta antara taun 1964 - 1965 calung leuwih dimasyarakatkeun deui ku parakanca di UNPAD minangka seni pintonan anu boga sipat hiburan sarta informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, saparakanca), sarta grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk).

Saterusna muncul grup-grup calung di Bandung, contona Layung Sari, Ria Buana, Glamor (1970) jrrd, nepi ka danget ayeuna, muncul ngaran-ngaran idola pamaén calung diantarana Tajudin, Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, jeung Hendarso. Kamekaran kasenian calung kacida onjoyna di Jawa Barat. Ieu hal téh ngabalukarkeun ditambahanana sawatara pakakas musik dina calung, contona kosrék, kacapi, piul (biola), komo kiwari mah aya anu dilengkepan keyboard jeung gitar. Unsur vokal pohara dominan dina calung, ku kituna réa muncul vokalis calung kawéntar, kawas Adang Céngos, sarta Hendarso.

WIKIPEDIA.com


Angklung

Angklung nyaéta alat musik tradisional Sunda nu dijieun tina awi, dimaénkeun ku cara dieundeukkeun (awak buku awina neunggar sarigsig) sahingga ngahasilkeun sora nu ngageter dina susunan nada 2, 3, nepi ka 4 dina unggal ukuranana, boh nu badag atawa nu leutik. Laras (nada) nu dipaké angklung tradisional Sunda biasana saléndro jeung pelog.


Sajarah

Dina kasenian Sunda, nu migunakeun alat musik tina awi di antarana angklung jeung calung. Anapon awi nu sok dipaké nyieun ieu alat musik biasana tina awi wulung (awi nu kelirna hideung) jeung awi temen (kelir bodas). Sada nu kaluar tina angklung jeung calung asalna sarua, nyaéta tina solobong awi nu ngelentrung lamun ditabeuh (diadu).

Angklung geus dipikawanoh ku masarakat Sunda ti jaman karajaan Sunda, di antarana pikeun ngagedurkeun sumanget dina pangperangan. Fungsi angklung pikeun ngahudang sumanget ieu jadi sabab dicaramna ieu kasenian ku pamaréntah jajahan Hindia Walanda.

Kasenian angklung kiwari leuwih mekar deui, ku ayana unsur ibing luyu jeung kapentinganana, misalna dina upacara ngarak paré kana leuit (ngampih paré, nginebkeun) jeung dina mangsa mitembeyan melak paré (ngaseuk). Pon kitu deui dina mangsa panén jeung sérén taun, nu ilaharna aya acara arak-arakan nu kadang dibarengan ogé ku réngkong jeung dongdang.

Rupa-rupa angklung

Angklung Kanékés

Di wewengkon Kanékés, angklung utamana dipaké patali jeung upacara-upacara tatanén, lalin keur hiburan. Angklung dipaké nalika melak paré di huma jeung ngubaran paré (tilu bulan sanggeus dipelak). Sanggeus dipaké, angklung disimpen dina upacara musungkeun angklung.

Pikeun tujuan hiburan, angklung ilaharna dipidangkeun nalika caang bulan jeung teu hujan. Ieu hiburan téh digelar di buruan bari nembang, di antarana Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang.

Angklung Dogdog Lojor

Kasenian dogdog lojor ayana di masarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atawa masarakat adat Banten Kidul nu sumebar di sabudeureun Gunung Halimun. Najan kasenian ieu ngaranna dogdog lojor, luyu jeung salasahiji alat musikna, ieu kasenian dilengkepan ogé ku angklung, sabab patali jeung upacara adat paré. Unggal geus panén, masarakat ngayakeun acara Sérén Taun di puseur kampung adat (imah kokolot) anu biasana pindah-pindah luyu jeung paréntah tina wangsit.

Tradisi ngamulyakeun paré di ieu masarakat masih terus lumangsung, kusabab masarakatna masih pengkuh kana adat baheula. Dumasar pitutur turun-tumurun, ieu masarakat adat ngaku salaku turunan para prajurit karaton Pajajaran barisan Pangawinan (prajurit nu marawa tumbak). Najan kitu, masarakat kasepuhan ieu geus lila ngagem Islam sarta narima kana modérenisasi. Luyu jeung kamekaran ieu, dogdog lojor ogé kadang sok midang dina acara nyunatan, ngawinkeun, sarta karaméan lianna.

Kasenian dogdog lojor dimaénkeun ku genep urang nu nyepeng alat musikna séwang-séwangan, nyaéta dua dogdog lojor jeung opat angklung gedé, nu masing-masing boga ngaran: gonggong, panémbal, kingking, jeung inclok (noron ti nu pangbadagna).

Lagu-lagu dogdog lojor di antarana Balé Agung, Samping Hideung, Oléng-oléng Papangantén, Si Tunggul Kawung, Adulilang, jeung Adu-aduan.

Upami di Sukabumi kasohorna Dogdog loyor pangrojong dina acara panen.

Angklung Gubrag

Angklung gubrag ayana di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Ieu angklung umurna geus kolot, dipaké dina upacara melak, ngunjal, jeung ngadiukkeun paré ka leuit. Dumasar carita turun-tumurun, ieu angklung téh mimiti aya dina hiji mangsa paceklik.

Badéng

Badéng téh mangruipakeun kasenian nu asalna ti Sanding, Malangbong, Garut. Bentuk kasenian angklung ieu dipaké pikeun kapentingan da'wah Islam, kira abad ka-16 atau 17. Harita, Arpaén jeung Nursaen (dua warga Sanding), diajar Islam ka Demak. Samulangna ti Demak, aranjeunna nyumebarkeun ajaran Islam ka masarakat Sanding hususna migunakeun kasenian badéng.

Angklung nu dipaké dina pintonan badéng aya salapan: angklung roél dua, angklung kecer hiji, angklung indung jeung bapa opat, jeung dua angklung anak anu dibarengan ku dogdog dua, terebang atawa gembyung dua, jeung kecrék hiji. Rumpaka tembangna maké basa Sunda nu euyeub ku istilah basa Arab, nu kadieunakeun ogé ditambah ku basa Indonésia. Eusi rumpakana taya lian ti ajén -inajén Islam jeung pitutur. Pidangan ieu kasenian kadang ogé dibarengan ku debus nu mintonkeun élmu-élmu kawedukan.

Tembang-tembang badéng anu kawentar, di antarana Lailaha illalloh, Ya’ti, Kasréng, Yautika, Lilimbungan, jeung Solaloh.


WIKIPEDIA.com